Hermeneutika Al- Qur’an, perlukah?

Hermeneutika Al- Qur’an, perlukah?

Oleh:

M. Abdurachman. Rochimi*

 

Al- Qur’an selalu menarik sekaligus menjadi tantangan bagi manusia untuk dikaji, menarik karena kitab yang pertama kali diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan ini mengandung ajaran ilahi yang berfungsi sebagai juru penyelamat manusia, dan menjadi tantangan karena di dalamnya banyak “rahasia” tuhan yang masih belum tersingkap yang disebabkan “keterbatasan” kemampuan manusia, oleh karena itu tuntutan untuk mengkajinya semakin mengkristal seiring lajunya arus modernisasi dan globalisasi, hingga Al- Qur’an tetap menjadi Hudan li An Nas.

Dewasa ini muncul berbagai disiplin ilmu dalam mengkaji kitab-kitab tuhan, di antaranya adalah hermeneutika. Al- Qur’an merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada rasul-Nya diharapkan dapat selalu up to date terhadap perubahan zaman dan selalu elastis terhadap multicultural hingga keberaadaannya dapat dirasakan sebagai dinamo penggerak kemajuan masyarakat. Lantas apakah untuk memahami al- Qur’an membutuhkan hermeneutika? Inilah permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam artikel ini.

Sebelum lebih jauh melangkah, alangkah baiknya jika kita menyatukan opini dan pemahaman kita terhadap hermeneutika. The new Encyclopedia Britannica menulis bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Adapun tujuan dari hermeneutika itu sendiri adalah menemukan nilai kebenaran dalam Bible.

Dalam sejarahnya hermeneutika muncul pada abad petengahan dengan lahirnya seorang tokoh pemikir besar dalam bidang hermeneutika yaitu Thomas Aquinas (1225-1274), karyanya yang menumental berjudul Summa Theologica menekankan pentingnya interpretasi bible secara litertal.

Pada abad ke-18 (zaman enlightenment) tokoh pemikir liberal kristen Johan Solomo Semler mengemukakan gagasannya bahwa hermeneutika mencangkup banyak pembahasan seperti retorika, tata bahasa, logika, sejarah, penerjemahan dan kritik terhadap teks. Menurutnya tugas utama hermeneutika adalah memahami teks sebagaimana dimaksudkan oleh para penulis teks itu sendiri, sehingga pemahaman seiring dan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para penulis teks.

Jadi pada awalnya hermeneutika dipakai untuk menemukan nilai-nilai kebenaran dalam perjanjian lama (old testament) atau pun perjanjian baru (new testament). Mengapa para teolog dan agamawan kristen memerlukan hermeneutika dalam mengkaji kitab-kitab mereka? Karena mereka menemukan big problem dalam memahami dan menginterpretasikan serta mencari true value dalam kitab suci mereka, salama ini masih mucul pertanyaan besar dan masih belum bisa dijawab dengan pasti, yaitu apakah secara harfiah Bible adalah kalam tuhan atau perkataan manusia? Aliran yang mengakui bahwa Bible itu adalah kalam tuhan dan tidak ada unsur perkataan manusia dianggap terlalu ekstrim dan bahkan tidak rasional, so what’s fucking hell with that?

Banyak kalangan agamawan yang masih menganggap Bible sebagai kitab yang masih dipertanyakan penciptanya. Seperti Richard Elliot Friedman dalam bukunya who wrote the Bible menyatakan bahwa hingga kini siapa yang menulis kitab tersebut masih merupakan misteri yang belum terungkap dengan pasti.

Karena Bible memiliki banyak penulis dan itupun belum pasti kebenarannya, bahkan terjadi banyak perbedaan dalam tulisan-tulisan itu serta tidak ada redaksi Bibel yang diakui original, maka menemukan titik temu “kebenaran” dalam Bibel sangat sulit. Prof M. Metzger dalam bukunya “A Textual Commentary on the Greek New Testament” menyatakan bahwa para interpreter Bible menemukan beberapa permasalahan dalam menginterpretasikan Bible diantaranya yaitu : Pertama, tidak adanya dokumen bible yang original saat ini Kedua, bahan yang ada bermacam-macam dan berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Tentunya kondisi tersebut mempersulit kaum intelektual agamawan dalam menelaah Bible dan menemukan nilai kebenaran murni.

Bible sendiri sebenarnya memiliki “sejarah hitam” beberapa abada silam, para paulus menjual firman tuhan untuk kepentingan peribadi dan kelompoknya. Bahkan mereka berani membuat “kabur” firman Tuhan dengan deviation interpretation untuk mencapai suatu tujuan. Bahkan demi mempertahankan kandungan Bible, para paulus membungkan mulut para ilmuan dalam mengemukakan penemuan ilmiahnya sehingga melumpuhkan bahkan mematikan perkembangan peradaban di Eropa kala itu.

Salah satu indikasinya dalam konteks ini adalah bahwa otoritas gereja pernah menghakimi ilmuan seperti Gelileo Galilei karena mengekspose teori “heliocentric” yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Sikap itu diambil untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan gereja yang mempunyai doktrin Infallibility. Segala hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja dianggap sebagai “heresy” (bid’ah) dan dihadapkan ke mahkamah inquisisi.

Problematika seputar Bible dalam konteks kontradiksi dengan sains terjadi pada abad pertengahan (500-1500 M). Zaman ini dikenal sebagai Medieval Europe, masih ada kasus serupa tetapi dalam sekala yang lebih kecil berlanjut pada zaman pencerahan, orang Eropa menyebut zaman ini dengan zaman Renaissance yang bermakna “kelahiran kembali” (rebirth). Adapun inti dari zaman Renaissance ini adalah zaman merebaknya paham “sekularisme, humanisme dan liberalisme” yang berbuntut kepada interpretasi bible yang disubordinasikan ke dalam paham-paham tersebut. Karena diakui atau tidak orang-orang Eropa hampir “gila” yang disebabkan pengaruh kekuasaan gereja dalam kehidupan social masyarakat. Gereja mengatur segala lini kehidupan masyarakat sehingga freedom “digantung” tak berdaya. Inilah catatan hitam gereja dengan memanfatkan Bible yang dianggap sebagai firman tuhan.

Nah dari complete problem tersebut maka hermeneutika diperlukan untuk “mencari” celah dalam memahami Bible yang telah menjalani lika liku dan gesekan paradigma kehidupan selama berabad-abad dengan harapan dapat mengungkap nilai kebenaran murni dari kitab suci itu.

Berbeda dengan Al- Qur’an, yang diakui dan terbukti sebagai karya tuhan yang tidak dimasuki oleh pendapat-pendapat manusia dalam redaksi aslinya. Perjalanan Al- Qur’an dalam sejarahnya, dari Jibril kepada Muhammad kemudian berlanjut kepada para sahabat, Tabiin hingga sampai di tengah-tengah kita telah tertulis dengan jelas dalam buku-buku ulum al Qur’an karya para ulama turast, tidak ada “korupsi” redaksi yang terjadi. Jelas dalam point ini terdapat perbedaan signifikan antara Al- Qur’an dan Bible.

Menurut hemat para ulama Mutakallimin paling tidak pemahaman meraka terhadap Al- Qur’an terpusat pada dua point, yaitu : Pertama, bahwa Al- Qur’an adalah perkataaan tuhan yang paling baik dan mulia dari perkatan yang lainnya Kedua, bahwa Al- Qur’an itu adalah kalamullah, dan kalamullah adalah qadhim dan bukan makhluk. Begitupun para ulama ushul, fiqh, dan lughah Arabiyah berpendapat yang sama, hanya saja mereka berbeda pendapat seputar metodologi penurunan ayat-ayat tuhan hingga sampai di tengah-tengah kita.

Pengetahuan tentang Nuzul Al-Qur’an merupakan asas dalam mengohohkan kepercayaan akan status Al- Qur’an sebagai kalamullah dan juga melegitimasi kepercayaan akan kerasulan Muhammad serta membenarkan ajaran yang disebarkannya. Nuzul Al-Qur’an juga masuk ke dalam pokok-pokok pembahasan dalam ulum al Qur’an. (baiknya baca Manahilul Irfan jilid 1 hal 37)

Al- Qur’an yang menyandang “gelar” sebagai kitab suci dan sekaligus mukjizat terbesar rasul ini mengandung makna yang luas dalam setiap ayatnya, bahkan jika mengkajinya hingga tujuh keturunan pun kita masih belum bisa menyingkapkan seluruh true value yang dapat dijadikan sumber kesejahteran manusia. Kalau boleh meminjam istilah Cak Nur, bersifat open ended, artinya selalu terbuka dalam menginterpretasikannya sehingga tidak lapuk dimakan usia dan selalu compatible dalam setiap zaman.

Nah untuk membumikan dan memanusiakan ayat-ayat tuhan yang terangkum dalam kitab suci Al- Qur’an tersebut tidak dibutuhkan hermeneutika, karena penggunaan hermeneutika kepada Al- Qur’an merupakan penempatan dan penggunaan yang salah. Tafsir dan Ta’wil adalah sarana tepat yang dapat dijadikan “jembatan” dalam merangkai pemahaman yang benar terhadap Al- Qur’an.

Tafsir secara etimologi adalah keterangan dan penguraian, adapun Tafsir secara terminologi adalah ilmu yang membahas tentang segala hal yang berhubungan dengan Al- Qur’an (makna ayat-ayat tuhan). Takwil secara etimologi adalah kembali adapun secara terminologi memalingkan lafaz dari maknanya yang dzahir kepada makna yang “mungkin” terkandung atau tersirat di dalamnya, dengan syarat jika makna yang “mungkin” itu sesuai dengan (semangat) kitab dan sunnah. Contohnya seperti firman Allah “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati” (al-Anbiya’: 95), apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itu disebut tafsir. Tetapi apabila yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta’wil.

Dengan status Al-Qur’an yang tidak memiliki sejarah “kelam” dan dengan karya-karya ulama klasik tentang Al- Qur’an dan ilmu-ilmu yang mendukung dalam menginterpretasikannya, maka kitab suci ini tidak memerlukan hermeneutika dalam mengkajinya. Jika hermeneutika “dipaksakan” untuk menggantikan tafsir dalam menginterpretasikan Al- Qur’an maka besar kemungkinan “kekecewaan” yang diraih karena akan terjadi misunderstanding terhadap makna teks-teks tersebut atau muncul “korupsi makna” yang dapat menyesatkan tanpa kita sadari.

Sebagai bahan renungan saya akan menyampaikan hadits kanjeng nabi Muhammad yang berbunyi: Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekali pun kamu akan mengikutinya juga. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: “Apakah mereka [yang diikuti] itu kaum Yahudi dan Nasara?” Rasulullah menjawab: “Siapa lagi [kalau bukan mereka].” (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)

Semoga kita dapat mengambil sisi “baik” dari budaya dan peradaban barat yang memuncak, tanpa “melupakan” status kita sebagai ummat kanjeng nabi, hingga kejayaan umat Islam pada masa lalu dapat terwujud kembali. Allahu’alam bi As Sawâb.

* Mahasiswa Al- Azhar Fak Aqidah Filsafat anggota KMKM.

Leave a comment